Blogroll

Meraih Nilai UN Murni

 Meraih Nilai UN Murni

HARI ini hingga tiga hari ke depan (15-18 April 2013), pelaksanaan Ujian Nasional (UN) berlangsung serentak bagi siswa SMA/MA/SMK. Dan, tiga hari kemudian (22-25 April 2013) UN bagi siswa SMP/MTs. Sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, UN ini akan menentukan lulus tidaknya seorang siswa, dengan skors nilai minimal 5,5 tiap mata pelajaran. Persentase hasil UN pada tiap satuan pendidikan merupakan ajang bergengsi tiap-tiap pemerintah daerah dan masyarakat.
 Pada UN tahun-tahun sebelumnya sistem pelaksanaannya dilakukan melalui lima paket naskah soal berbeda tiap mata pelajaran, kondisi seperti ini masih bisa dibocorkan oleh oknum yang memang spesialis untuk itu. Namun, pada UN tahun ini dilakukan sebanyak (20) paket naskah soal tiap mata pelajaran berkode, tiap paket soal bersama lembaran jawaban komputer (LJK) UN telah diberi kode komputer yang tak dapat ditukar dengan LJKUN lain. Hal ini dilakukan oleh Kementrian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) menghindari kecurangan oleh mafia pembocor soal UN. 
Sistem seperti ini akan memberi pengalaman berharga kepada semua pihak, agar serius mempersiapkan diri melalui belajar dalam rangka mempersiapkan sumber daya manusia (SDM) yang mandiri, jujur, wibawa dan tidak sombong atas hasil belajarnya --baik atau buruk-- adalah hasil UN murni. Melalui hasil UN dapat memberi informasi barometer kepada pemerintah, sekolah dan guru terhadap cocok tidaknya strategi mengajar yang digunakan. Sehingga, dapat merencanakan prosedur perbaiki atau penguatan rencana pengajaran, metode dan strategi yang digunakan sebelumnya, apakah sudah tepat sasaran? Di samping itu, hasil UN diperlukan untuk melakukan pemetaan penguasaan materi pada tiap mata pelajaran dari skors angka maksimal dan minimal yang diperoleh siswa pada mata pelajaran tertentu. Dalam hal ini, pemetaan hasil evaluasi tahap akhir (UN) bertujuan untuk mengukur keberhasilan secara kualitatif mutu pendidikan standar nasional, provinsi, dan kabupaten/kota. 
Pada tahap berikutnya dapat dianalisis persentase lulus masuk perguruan tinggi negeri tiap satuan pendidikan. Rekayasa nilai Standar lulus siswa dapat diukur dari perhitungan angka, yaitu 40% total nilai hasil Ujian Sekolah (US) dibagi dengan nilai UN sebanyak 60%. Konversi nilai tersebut para siswa bisa dinyatakan lulus pada satuan pendidikan bila mendapat nilai (angka) minimal 5,5 tiap mata pelajaran. Untuk meraih angka tersebut disinyalir banyak satuan pendidikan melakukan rekayasa nilai melalui hasil US dan kriteria ketuntasan minimal (KKM), tiap mata pelajaran ada yang tidak logis ditinjau dari segi kriteria KKM itu sendiri pada suatu satuan pendidikan. Dalam kapasitas ini, Kemendiknas agaknya terkecoh kembali terhadap strategi untuk memperoleh angka murni dari penguasaan materi mata pelajaran tertentu oleh para siswa. 
 Secara sosiologis dan akademis kondisi di atas perlu rekonstruksi strategi yang tepat untuk memperoleh angka yang murni dari hasil usaha para siswa sendiri untuk meraih angka lulus, sehingga mereka dapat menghargai diri sendiri dan orang lain dari apa yang diusahakan dari proses belajarnya-bukan yang dikondisikan. Sejatinya hakikat pendidikan adalah menemukan dan mengembangkan potensi dirinya dan menumbuhkembangkan kreativitas dan moral spiritual dalam jiwa masing-masing siswa untuk kemajuan bangsa. Sebagaimana diucapkan oleh John Dewey, pendidikan adalah proses pembentukan kecakapan-kecakapan fundamental secara intelektual dan emosional ke arah alam dan sesama manusia (Ahmadi, 2007:69). 
 Alternatif solusi meraih UN murni agar terhindar dari bocoran di beberapa daerah dapat diraih melalui, di antaranya: Pertama, Mengembalikan sistem Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (Ebtanas) pada sekolah, bahwa hasil evaluasi akhir tidak menjadi kriteria lulus para siswa. Tapi ditentukan oleh dewan guru pada suatu satuan pendidikan; Kedua, pelaksanaan UN dipanggil peserta mewakili tiap satuan pendidikan yang bersedia, diawasi oleh panitia pusat, provinsi atau kabupaten/kota yang dilaksanakan pada tempat tertentu, dan; Ketiga, melalui UN online, dalam hal ini juga mewakili tiap satuan pendidikan untuk menjadikan sampel kualitas penguasaan materi yang dilaksanakan di beberapa daerah tertentu terlebih dulu.
  Ketiga sistem pelaksanaan UN tersebut dapat dipilih menjadi alternatif pelaksanaan UN masa depan, bahwa skors UN harus diberikan kepada peserta yang mengikuti ujian tersebut. Kemudian, nilainya (skors) ditulis apa adanya dan tidak berefek kepada kriteria lulus para siswa di sebuah satuan pendidikan. Bila kerangka ini bisa menjadi landasan acuan dalam meraih UN murni, insya Allah, harapan, perlakuan pembocoran rahasia negara dari naskah soal UN tersebut dapat terhindari. Namun, bila diidealkan rekonstruksi sistem yang telah mengakar memelihara sistem tersebut bisa terjadi konflik kembali dengan oknum yang telah punya peran mengorganisasi kondisi buram tersebut. Lantas kapankah kita bisa meraih kualitas standar ISO sistem pendidikan nasional Indonesia yang bermartabat, berwibawa dan memiliki intelektual plus, bila pemerintah tidak mengambil langkah konstruktif? 

 Kualitas standar 

Meraih kualitas tujuan standar pendidikan nasional dilakukan pengukuran melalui UN. Namun, ada banyak pihak menanyakan kualitas kesetaraan satuan pendidikan, SDM guru, sarana dan prasarananya, apakah sudah sama secara nasional, sehingga dapat dilaksanakan UN. Menjawab persoalan seperti ini tentu tidak terpecahkan sampai 2 kali lagi ganti presiden atau pada 2020, karena beberapa penjabat negara-pusat dan daerah-belum memiliki konsep yang sama dalam membangun pendidikan nasional kita. Kriteria lain yang menjadi relatif pemersatu logika akademik dalam penyelenggaraan pendidikan standar nasional adalah mengikuti kurikulum yang sesuai berlaku secara nasional, persediaan buku-buku paket pegangan guru dan siswa dapat didistribusikan oleh pemerintah secara serentak di seluruh Indonesia. 
 Seperti, pada Kurikulum 2013 yang akan diterapkan oleh Kemdiknas pada bulan Juli, tahun ajaran 2013-2014 ini, sejauh manakah Dinas Pendidikan telah menyosialisasikannya dan persiapan seperlunya agar bisa berhasil dalam pelaksanaannya? Di sinilah peran stakeholder diperlukan visi yang cemerlang dalam membangun pendidikan untuk kebutuhan regenerasi masa depan, bahwa keberhasilan pendidikan sangat bergantung kepada kualitas kerja tim sekarang, hasilnya dapat dilihat minimal 10 tahun kemudian. Untuk membangun konsep akademik yang sama, bukan konsep ‘membeo’ --sepertinya kita agak sulit-- karena selama ini para penyelenggara pendidikan telah tertanam budaya statis, tidak boleh kritis dan idealis dalam mengikuti pesan-pesan oknum penyelenggara pemerintahan daerah tertentu. Maka, untuk menyelaraskan iklim akademik kepada para pihak di atas dalam meraih UN murni, apakah kita perlu pesimis terhadap perubahan pola pikir penyelenggara pendidikan sekarang? Bukankah sistem pendidikan kita menggunakan desentralisasi? So what, gitu? 
NB: Sudah dipublikasi di Harian Serambi Indonesia pada,Senin, 15 April 2013.

0 Response to " Meraih Nilai UN Murni"