Blogroll

Pengawasan Mutu Pendidikan Aceh

Perkembangan pola pikir masyarakat di bidang pendidikan diarahkan kepada pembentukan kemajuan masa depan. Kondisi real pendidikan Aceh sebagaimana hasil penelitian Tim Koordinasi Pendidikan Aceh (TKP2A) tentang kualitas pendidikan Aceh dengan rasio jumlah murid dengan jumlah guru ditemukan 14 persen sekolah di Aceh kelebihan guru yang dapat membebani keuangan kabupaten/kota hingga 50 persen. Jika ingin mengurangi beban APBK, maka perlu pengurangan guru hingga 14 persen. Menurut ketua DPRA, Hasbi Abdullah, “ini buka aib bagi masing-masing daerah, tapi merupakan tantangan untuk segera diatasi”. Sedangkan Kadis Pendidikan Aceh, Bakhtiar Ishak, mengatakan “Kita sangat terbuka terhadap kritikan, usul, saran, dan masukan untuk kemajuan pendidikan Aceh”. (serambi, 14/10). Merupakan pancaran sikap koperatif kedua penjabat tersebut untuk membenah sistem pendidikan Aceh. Upaya mendasar yang perlu mendapat perhatian adalah; (1) Badan kepegawaian Pendidikan dan Pelatihan (BKPP), seharusnya memiliki database yang akurat jumlah rasio guru/pegawai yang dibutuhkan. (2) Dinas Pendidikan setiap kabupaten/kota. Laporan bulanan dari sekolah/madrasah perlu diteliti ke akuratkan data, bukan untuk dokumentasi semata. (3) Sekolah/Madrasah. Membuat laporan yang riil jumlah kebutuhan guru tiap bidang studi. (4) Mengaktifkan fungsi pengawas pendidikan, mampu menulis laporan yang akurat dan tepercaya. Kriteria pengawasan harus sesuai standar tuntutan sistem pendidikan nasional, sehingga dapat diverifikasi untuk ditindak lanjuti. Kelemahan dinas pendidikan selama ini kurang mempertimbangkan kebutuhan quata guru di setiap sekolah, sehingga terjadi penumpukan pada sekolah-sekolah di ibukota kabupaten/kota. Sebaliknya sekolah-sekolah di daerah terpencil kekurangan guru. Memperhatikan kondisi ini, kita butuh reaksi gerak cepat dari dinas pendidikan, melakukan pemetaan di setiap kabupaten/kota tentang kebutuhan guru dan jumlah jam wajib yang harus dilaksanakannya. Sebenarnya ada kondisi lain yang tidak terungkap informasi oleh tim TKP2A, yaitu standar rasio jumlah murid dan jumlah ruang belajar (rombel) setiap satuan pendidikan dari berbagai tipe. Sehingga, tidak ada penumpukan murid pada sekolah tertentu dan ada sekolah yang minim murid. Kondisi ini dapat terjadi karena –kelihatannya—dinas pendidikan kurang kontrol terhadap manajemen kepala sekolah. Tapi, apakah ada pengaktifan manajemen fee di berbagai lini manajemen. Kini sudah saatnya kerja sama pengawas, satuan pendidikan dan pemerintah (stakeholder) untuk mendapatkan informasi real dan memberi solusi terhadap problema pendidikan. Para stakeholder pendidikan memiliki peran masing-masing dalam konteks sistem pendidikan yang dibangun dapat memberi andil yang signifikan terhadap mutu pendidikan. Pengawas pendidikan adalah tenaga kependidikan yang diangkat oleh pemerintah pada satuan pendidikan. Mereka adalah orang yang mampu membina kemampuan profesional tenaga pendidik dan kepala sekolah dalam meningkatkan kinerjanya. Pengawas sekolah berfungsi sebagai supervisor akademik dan supervisor manajerial. Sebagai supervisor akademik, pengawas sekolah berkewajiban untuk membantu kemampuan profesional guru agar dapat meningkatkan mutu proses pembelajaran. Sedangkan sebagai supervisor manajerial, pengawas berkewajiban membantu kepala sekolah agar mencapai sekolah yang efektif. Pembinaan dan pengawasan kedua aspek tersebut hendaknya menjadi tugas pokok pengawas sekolah. Pembenahan sistem pendidikan diarahkan kepada terselenggaranya pembelajaran kontekstual sesuai dengan kondisi satuan pendidikan dan potensi daerah. Sehingga, peran mereka akan memberi dampak yang signifikan kepada kelangsungan pendidikan dan peradaban manusia. Pengawasan merupakan fungsi manajemen yang dibangun secara sinergis memerlukan keseimbangan penilaian dan pembinaan seluruh proses pendidikan dan pengajaran pada sekolah negeri dan swasta. Penilaian dilakukan untuk menentukan kualitas berdasarkan kriteria yang ditetapkan. Sedangkan kegiatan pembinaan dilakukan dalam bentuk pemberian arahan, saran dan bimbingan (KepMen P & K RI Nomor 020/U/1998 tanggal 6 Februari 1998). Keseimbangan pembangunan pendidikan perlu perhatian para stakeholder. Mereka harus mendapatkan strategi bersama dalam mencerdaskan anak-anak bangsa, dengan menghilangkan diskriminasi layanan setiap jenjang satuan pendidikan. Layanan pengawas pendidikan diorientasikan untuk meningkatkan mutu dalam proses pembelajaran dan menghasilkan para lulusan berprestasi. Menurut Ofsed (2005) fokus pengawasan meliputi; (1) standar dan prestasi yang diraih siswa, (2) mutu layanan pembelajaran, (3) manajemen sekolah. Dalam konteks mutu dibagi dua. Pertama, mutu dalam persepsi bahwa pada sekolah-sekolah favorit banyak memikat masyarakat (community interest), karena apabila dapat bersekolah pada sekolah tersebut akan memperoleh berbagai fasilitas dalam proses pembelajaran. Kedua, mutu dalam fakta bahwa sekolah favorit memiliki berbagai fasilitas proses pembelajaran melebihi sekolah biasa, lengkap para guru bidang studi yang profesional, dapat dijadikan pusat belajar dan pelatihan (centre training) bagi sekolah di sekitarnya. Dalam hal ini, pemerintah menetapkan delapan standar nasional pendidikan yakni: (1) standar isi, (2) standar proses, (3) standar kompetensi lulusan, (4) standar pendidik dan tenaga kependidikan, (5) standar sarana dan prasarana, (6) standar pengelolaan, (7) standar pembiayaan, dan (8) standar penilaian pendidikan (PP. No. 19 Tahun 2005). Pengawas pendidikan sebagai tenaga profesional terhimpun dalam organisasi profesi, mereka berhak memberikan penjaminan mutu layanan pendidikan kepada stakeholders, masyarakat dan pemerintah, sesuai dengan undang-undang yang berlaku. Kinerja pengawas setiap satuan pendidikan dinilai oleh tim independen yang diangkat melalui SK Kepala kantor Kementrian Pendidikan/ Kakamenag di Kabupaten/Kota. Tim ini terdiri dari pejabat struktural kantor masing-masing, organisasi profesi (misalnya APSI, PGRI, ISPI, KoBar-GB), akademisi, MPD/DP sekitar 5 orang. Tapi, Apakah Efektif atau tepercayakah laporan mereka? Untuk mengatasi problema pendidikan, pemerintah Aceh telah membentuk lembaga mandiri, Majelis Pendidikan Daerah (MPD) pada tanggal 31 Agustus 1990, dengan SK Gubernur Aceh No.420/ 435/1990, merupakan tuntutan historis pembentukan propinsi Aceh, sebagai daerah Istimewa dalam bidang keagamaan, adat dan pendidikan. Pembentukan MPD bertujuan untuk meningkatkan mutu layanan pendidikan dan pemberdayaan pengawasan pendidikan. Eksistensinya agar dapat memberikan masukan, pengawasan tentang kebijakan pemerintah dan isu-isu yang sedang dihadapi dalam dunia pendidikan. Perannya diharapkan supaya dapat mengevaluasi kebijakan pendidikan yang sedang berlangsung dan yang telah di laksanakan belum setara dengan tujuan sistem pendidikan nasional, dalam proses pembelajaran dan kebijakan lainnya. Sebagai mediator dan kontrol layanan pendidikan, MPD perlu ada master plan sistem pengawasan pendidikan bermutu sesuai dengan filosofi awal pembentukannya. Kualitas kerja stakeholder perlu dibenah kebali dalam membangun sistem pendidikan Aceh yang kontekstual berwawasan mutu sesuai dengan kondisi daerah. Kemerosotan pendidikan Aceh karena tugas dan fungsi pengawasan kurang akurat, cenderung melakukan birokrasi pelaporan informasi prestasi palsu. Seharusnya, laporan pengawasan harus dapat dipertanggung jawabkan, untuk melakukan audit dan perbaikan seperlunya. Informasi dari TKP2A merupakan masukan (input dan feedback), kepada para stakeholder menyangkut instrumen yang perlu mendapat perhatian dan melakukan kajian ulang sistem pendidikan Aceh untuk peningkatan mutu sesuai perkembangan masa depan. Kiranya pemerataan guru dapat disesuaikan dengan rasio kebutuhan tiap bidang studi.

0 Response to "Pengawasan Mutu Pendidikan Aceh"