Blogroll

Jejak Aceh di Tanah Arab

Catatan M Adli Abdullah Di dalam perjalanan ini, saya sempat berpikir apakah nama baik orang Aceh di Arab Saudi bisa sederajat dengan nama baik Aceh di Indonesia dan di seluruh dunia. Yang menarik adalah hampir semua negara yang saya kunjungi, nama Aceh selalu dihormati dan dipandang sebagai bagian dari peradaban dunia... MENJELANG bulan Ramadan ini, tepatnya tanggal 18 Agustus saya melakukan ibadah umrah bersama-sama dengan beberapa kerabat di Banda Aceh. Sebagai bagian dari rombongan yang dikoordinasikan oleh Ce’Man Tour and Travel, saya memiliki beberapa refleksi mengenai bagaimana sesungguhnya hubungan Arab dan Aceh. Dalam laposan singkat ini, saya ingin menjelaskan bagaimana hubungan kedua negeri ini, hingga saya sendiri tidak pernah menduga betapa beruntungnya menjadi orang Aceh di tanah Suci ini. Ketika tiba di Jeddah, jam 17.55 waktu Saudi (21.55 wib), karena prosedur yang agak ketat yang baru diberlakukan awal Agustus tahun ini. Peraturan tersebut adalah seluruh pengunjung yang masuk ke Saudi diwajibkan sekarang ini diambil sidik jari, dan di photo satu persatu. Namun, prosedur ketat ini tidak dibarengi dengan penambahan karyawan imigrasi. Sambil menunggu dan duduk duduk dilantai saya mencoba membersihkan jenggot dan kumis saya. Rupanya tindakan ini mengundang kecuriagaan dari peugas imigrasi lebih ketat lagi. Lalu, dengan bahasa Arab terbata bata, saya jelaskan bahwa saya cukur jenggot sambil mengisi waktu kosong, karena lamanya menunggu di Imigrasi. Pegawai imigrasi menanyakan asal saya, kemudian saya menjawab :”Asyi”, sebuah sebutan marga Aceh dikalangan orang Arab. Rupanya pegawai imigrasi mengetahui bawah Aceh itu ada di Indonesia. Alhasil, saya diperkenankan untuk masuk ke Arab Saudi. Rombongan kami dijemput oleh Tengku Sulaiman Al Asyi (warga Arab Saudi keturunan Aceh). Sambil makan saya bertanya kepada Tengku Anwar Fuadi Abdussalam Asyi tentang sikap marahnya pegawai imigrasi terhadap jenggot yang saya cukur tadi. Begitu saya menyebutkan nama Asyi, para petugas tersebut kembali ramah. Menurut Tgk Anwar Fuadi orang Arab suka sekali melihat orang memelihara jenggot dan itu salah satu bentuk pelaksanaan syari‘at Islam. Sedangkan sebutan negeri Aceh adalah tidak asing bagi sebagian orang Arab walaupun sekarang hanya salah satu propinsi di Indonesia karena banyak sekali orang Arab keturunan Aceh mendapat kedudukan bagus di kerajaan Saudi Arabia seperti alm Syech Abdul Ghani Asyi mantan ketua Bulan Sabit Merah Timur Tengah, Alm Dr jalal Asyi mantan wakil Menteri Kesehatan Arab Saudi, DR Ahmad Asyi mantan wakil Menteri Haji dan Wakaf dan banyak sekali harta wakaf negeri Aceh sekarang masih wujud disana. Mendengar penjelasan Tgk Haji Anwar Fuadi Salam Asyi tambah menarik penulis untuk menelusuri jejak Aceh di Tanah Arab ini sambil beribadah umrah kali ini. Jadi gelar Asyi ini adalah merupakan sebuah pengakuan identitas orang Aceh di Arab Saudi yang sangat terhormat, sehingga gelar al-Asyi ini kemudian bisa dikatakan sebagai salah satu marga yang wujud di tanah Arab. Karena itu, saya memandang bahwa martabat orang Aceh di Arab Saudi sangat luar biasa. Sejauh ini, gelar ini memang tidak begitu banyak, namun mengingat kontribusi para Asyi ini pada kerajaan Saudi Arabia, saya berkeyakinan bahwa ada hubungan yang cukup kuat secara emosional antara tanah Arab ini dengan Serambinya, yaitu Aceh. Setelah selesai makan, kami berangkat menujuh Medinah menempuh waktu 4.30 menit. Sewaktu melintasi kota Jeddah penulis sempat teringat pada kisah Habib Abdurrahman Azzahir, perdana menteri merangkap Menteri Luar Negeri Kerajaan Aceh pada masa perang Aceh dengan Belanda kemudian meninggal di Jeddah pada tahun 1896 M. Habib yang menyerah pada Belanda pada tahun 1877 M. tiga tahun setelah perang Aceh Belanda meletus yang di mulai pada 26 Maret 1873, dia mengasingkan diri ke Jeddah serta mendapat pensiun 10.000 US dolar perbulan. Berkhianatnya Habib kepada Kerajaan Aceh dan memihak Belanda menjadi berita besar pada saat itu. Mayor Macleod, yang ditugas mengantar Habib ke Jeddah sempat memplesetkan lagu “Faldera dera” yang sangat terkenal di kalangan orang Belanda saat itu, diplesetkan menjadi: Nun di sana terapung istana samudra Namanya Cuaracao Habib yang berani akan dibawa Ke Mekkah tujuan nyata Kini ia berdendang riang faldera dera Untuk gubernemen kita Banyaknya sekian ribuan dolar sebulan Tidak cerdikkah saya? Snouck Hurgronje dalam bukunya Nasihat-Nasihat C. Snouck Hurgronje semasa Kepegawaiannya (1990) mengakui bahwa dia banyak dibantu Habib selama Snouck bermukim di tanah Arab pada tahun 1884. Perjumpaannya dengan Habib Abdurrahman Az-Zahir sering dilakukan di Konsulat Jenderal Belanda di Jeddah. Menurut Snouck Hurgronje bahwa dia sering berjumpa dan bertukar pikiran dan belajar masalah Aceh dengan Habib Abdurrahman Az Zahir. Bahkan pada tanggal 26 Juli 1888 Snouck sempat menyampaikan isi nota pribadi Habib kepada Menteri Daerah Jajahan Pemerintah Belanda Mr L.W.C. Keuchenius tentang konsep perdamaian negeri Aceh yang memintanya diangkat menjadi Wali negeri Aceh untuk urusan Islam dan tetap taat kepada pemerintah Belanda. Agaknya inilah yang menyebabkan saya terusik apa sebenarnya peran Syaikh ini dan bagaimana pengaruhnya terhadap pola penjajahan di Aceh yang dilakukan oleh Belanda saat ini. Dalam perjalanan ke Mekkah, saya sempat berdiskusi dengan Tgk Anwar Fuadi Salam al-Asyi tentang banyak nya harta orang Aceh di Saudi Arabia yang merupakan wakaf. Pada tahun 1996 Tengku Anwar sendiri telah menulis buku Harta Wakaf Aceh. Menurutnya di Saudi banyak sekali harta wakaf Aceh baik yang sudah dikenali maupun yang belum dikenali. Wakaf tersebut ada yang berbentuk wakaf umum untuk jamaah haji asal Aceh atau orang yang menimba ilmu disana ada juga yang wakaf khusus untuk keturunannya yang datang ke Arab baik menunaikan ibadah haji maupun menuntut ilmu. Jadi hubungan keilmuan inilah yang menyebabkan bagaimana hubungan Haramayn (Mekkah dan Madina) dengan Aceh, yang pada urutannya menyebabkan munculnya gelombang reformasi Islâm di Nusantara yang dipelopori oleh ulama Aceh yang pernah berdiam di Arab Saudi. Sebagai contoh wakaf umum katanya wakaf habib Bugak Asyi yang datang ke hadapan Hakim Mahkmah Syariyah Mekkah pada tanggal 18 Rabiul Akhir tahun 1224 H. Di depan hakim dia menyatakan keinginannya untuk mewakafkan sepetak tanah dengan sebuah rumah dua tingkat di atasnya dengan syarat; rumah tersebut dijadikan tempat tinggal jemaah haji asal Aceh yang datang ke Mekkah untuk menunaikan haji dan juga untuk tempat tinggal orang asal Aceh yang menetap di Mekkah. Sekiranya karena sesuatu sebab tidak ada lagi orang Aceh yang datang ke Mekkah untuk naik haji maka rumah wakaf ini digunakan untuk tempat tinggal para pelajar (santri, mahasiswa) Jawi (nusantara) yang belajar di Mekkah. Sekiranya karena sesuatu sebab mahasiswa dari Nusantara pun tidak ada lagi yang belajar di Mekkah maka rumah wakaf ini digunakan untuk tempat tinggal mahasiswa Mekkah yang belajar di Masjid Haram. Sekiranya mereka ini pun tidak ada juga maka wakaf ini diserahkan kepada Imam Masjid Haram untuk membiayai kebutuhan Masjid Haram. Menurut sejarah, sebenarnya bukan hanya wakaf habib Bugak yang ada di Mekkah, yang sekarang hasilnya sudah dapat dinikmati oleh para jamaaah haji dari Aceh tiap tahunnya lebih kurang 2000 rial per jamaah. Namun ada juga wakaf-wakaf lainnya seperti wakaf Syech Muhammad Saleh Asyi dan isterinya Syaikhah Asiah (sertifikat no 324) di Qassasyiah, Wakaf Sulaiman bin Abdullah Asyi di Suqullail (pasar Seng), wakaf Muhammad Abid Asyi, Wakaf Abdul Aziz bin Marzuki Asyi, wakaf Datuk Muhammad Abid Panyang Asyi di Mina, Wakaf Aceh di jalan Suq Al Arab di Mina, Wakaf Muhammad Saleh Asyi di Jumrah ula di Mina, Rumah Wakaf di kawasan Baladi di Jeddah, Rumah Wakaf di Taif, Rumah Wakaf di kawasan Hayyi al Hijrah Mekkah , Rumah Wakaf di kawasan hayyi Al Raudhah, Mekkah, Rumah Wakaf di kawasan Al Aziziyah, Mekkah. Ada juga wakaf Aceh di Suqullail, Zugag Al Jabal, dikawasan Gazzah, yang belum diketahui pewakafnya. Baru-baru ini ada juga rumah wakaf Syech Abdurrahim bin Jamaluddin Bawaris Asyi (Tgk Syik di Awe Geutah) di Syamiah Mekkah, Syech Abdussalam bin Jamaluddin Bawaris Asyi (Tgk di Meurah) di Syamiah, Abdurrahim bin Abdullah bin Muhammad Asyi di Syamiah dan Chadijah binti Muhammad bin Abdullah Asyi di Syamiah. Inilah bukti bagaimana generous antara ibadah dan amal shaleh orang Aceh di Mekkah.Mereka lebih suka mewakafkan harta mereka, ketimbang dinikmati oleh keluarga mereka sendiri. Namun, melihat pengalaman Wakaf Habib Bugak, agaknya rakyat Aceh sudah bisa menikmati hasilnya sekarang. Fenomena dan spirit ini memang masih sulit kita jumpai pada orang Aceh saat ini, karena tradisi wakaf tanah tidak lagi dominan sekali. Karena itu, saya menganggap bahwa tradisi leluhur orang Aceh yang banyak mewakafkan tanah di Arab Saudi perlu dijadikan sebagai contoh tauladan yang amat tinggi maknanya. Hal ini juga dipicu oleh kejujuran pengelolalaan wakaf di negeri ini, dimana semua harta wakaf masih tercatat rapi di Mahkamah Syariah Saudi Arabia Sebagai bukti bagaimana kejujuran pengelolaan wakaf di Arab Saudi, Pada tahun 2008 Mesjidil haram diperluas lagi kekawasan Syamiah dan Pasar Seng. Akibatnya ada 5 persil tanah wakaf orang Aceh terkena penggusuran. Tanah wakaf tersebut adalah kepunyaan Sulaiman bin Abdullah Asyi, Abdurrahim bin Jamaluddin Bawaris Asyi (Tgk Syik di Awe Geutah, Peusangan), Syech Abdussalam bin Jamaluddin Bawaris Asyi (Tgk di Meurah, Samalanga), Abdurrahim bin Abdullah bin Muhammad Asyi dan Chadijah binti Muhammad bin Abdullah Asyi. Menurut peraturan pemerintah Saudi Arabia para keluarga dan nadhir dapat menuntuk ganti rugi dengan membawa bukti kepemilikan (tentu memerlukan proses yang lama ie menelusuri siapa nadhir tanah wakaf tersebut, penunjukan pengacara dll) dan bisa menghadap pengadilan agama Mekkah menutut ganti rugi dan penggantian dikawasan lain di Mekkah sehingga tanah wakaf tersebut tidak hilang. Kalau seandainya tidak ada keluarga pewakaf lagi khusus untuk wakaf keluarga maka sesuai dengan ikrar wakaf akan beralih milik mesjidil haram atau baital mal. Inilah pelajaran atau hikmah tradisi wakaf di Mekkah yang semoga bisa menjadi contoh yang baik bagi pengelolaan wakaf di Aceh. Tak terasa jam telah menunjukkan pukul 4.30 dan kami telah di Madinah. Setelah Check in hotel kami langsung menuju mesjid Nabawi yang letaknya dari hotel hanya 500 m dan bisa berjalan kali senang rasanya bisa shalat di Mesjid Nabawi dan bisa ziarah ke makam Rasullullah SWT. 4 hari kami di Medinah yang umumnya waktu dihabiskan di Mesjid dan membaca al Qur’an dan jutaan jamaah dari seluruh dunia datang mengunjungi Rasullah di kota Yasrib ini. Penulis sempat bertemu dengan jamaah dari Marokko dan menanyakan asal nesigerisaya setelah mengetahui bahwa berasal dari Aceh Indonesia. Jamaah ini langsung menanyakan keaadaan Aceh paska tsunami dan perdamaian, rupanya jamaah ini mengikuti perkembangan di Serambi Mekkah ini. Pada tanggal 23 Agustus kami meninggalkan Kota Rasul menuju Mekkah dan mengambil ihram di Bir Ali dan tiba di Mekkah pada jam 22.00 malam. Setelah check in Hotel langsung melaksanakan rukun Umrah yakni tawaf dan sai antara safa dan marwah. Selama di Mekkah kami diundang buka puasa bersama oleh Teuku Sulaiman Asyi di Rumah wakaf Aceh dekat dengan Jabal Nur, di kawasan gua hirak. Yang unik adalah anak-anak Syech ini masih fasih berbahasa Aceh, walaupun baju dan adat istiadat mereka sudah sangat Arab. Di Mekkah juga penulis juga di sempat bertemu dengan Saidah Taliah Mahmud Abdul Ghani Asyi serta Sayyid Husain seorang pengacara terkenal di Mekkah untuk mengurus pergantian tanah wakaf yang bersetifikat no 300 yang terletak di daerah Syamiah yang terkena pergusuran guna perluasan halaman utara Mesjidil haram Mekkah al Mukarramah yang terdaftar petak persil penggusuran no 608. Yang diwakafkan oleh Syech Abdurrahim Bawaris Asyi (Tgk Syik di Awe Geutah, Peusangan) dan adiknyaSyech Abdussalam Bawaris Asyi (Tgk di Meurah, Samalanga). Memang pada asalnya 75 persen tanah di sekitar Mesjidil Haram adalah tanah wakaf apakah itu wakaf khusus atau wakaf umum. Dan sebagiannya ada milik orang orang Aceh dulu dan ini bagian dari kejayaan Aceh yang pernah masuk dalam 5 besar negeri Islam di dunia bersama Turki, Morroko, Iran, Mughal India dan Aceh Darussalam di Asia tenggara Inilah sekelumit hasil muhibbah saya ke Arab Saudi dan saya benar-benar terkesima dengan pengakuan identitas Asyi dan pola pengelolaan wakaf di Arab Saudi. Selain ini, di dalam perjalanan ini, saya sempat berpikir apakah nama baik orang Aceh di Arab Saudi bisa sederajat dengan nama baik Aceh di Indonesia dan di seluruh dunia. Yang menarik adalah hampir semua negara yang saya kunjungi, nama Aceh selalu dihormati dan dipandang sebagai bagian dari peradaban dunia. Meskipun ini adalah perjalanan yang singkat, namun banyak hikmat yang masih perlu digali antara hubungan Aceh dengan Arab Saudi. -- Tabloid KONTRAS Nomor : 505 | Tahun XI 3 - 9 September 2009

0 Response to "Jejak Aceh di Tanah Arab"