Blogroll

UN Bukan Hanya Simbolis

UN Bukan Hanya Simbolis Tujuan diadakan Ujian Nasional adalah untuk mengetahui dan mengukur tingkat penguasaan materi pelajaran tertentu secara nasional. Sehingga, situasi yang ada akan menjadi landasan dalam pengambilan kebijakan bagi kemajuan sistem pendidikan nasional kita. Realitan dalam pelakasanaan yang sudah menasional juga adalah ada oknum penjabat tertentu bermain melawan sistem evaluasi itu sendiri yaitu ada usaha-usaha pembocoran soal berbagai bentuk operandi. Seperti mengedarkan jawaban vis SMS. Ujian Nasional (UN) untuk tahun ini dilaksanakan 22-24 April 2008 untuk SMA/MA dan pada 5-8 mei untuk SLTP. Pelaksanan tahun ini telah dilaksanakan dan menjadi pengalaman bagi tenaga pendidik,satuan pendidikan dan pemerintah. Pendidikan yang diterapkan sekarang menjadi pengalaman anak didik kita.Semua perlakuan yang dilakukan merupakan perwarisan yang dilakukan oleh generasi sekarang. Fondasi yang dibangun hari ini menjadi akar perlakuan anak-anak kita masa mendatang. Semua unsur mulai dari pendidik, satuan pendidikan dan pemerintah mengharapkan agar semua peserta UN dapat berhasil lulus. Namun, dalam pelaksanaannya tak dipungkiri berbagai unsur tersebut ikut berperan mensukseskannya dengan berbagai usaha. Adapun usaha-usaha yang dilakukan tentunya harus melalui prosedur yang wajar, tidak meng-intervensi pihak manapun dan melakukan kecurangan seperti membocorkan jawaban via SMS agar semua peserta UN dapat lulus semuanya. Ada berbagai kepentingan dari berbagai pihak dari pelaksanaan hasil UN. Penilaian hasil belajar siswa yang tepat ditentukan adalah; Pertama, pendidik akan merasa lega karena anak didiknya telah berhasil lulus setelah diajar dan dididik selama 3 tahun. Kedua, satuan pendidikan, akan menjadi sekolah/madrasah bangga karena bisa melusluskan semua siswanya. Ketiga, pemerintah. Pihak penjabat daerah sampai penjabat Diknas ke bawahnya akan merasa gembiran bahwa managemen pendidikan yang diterapkan oleh bawahannya melalui PBM sudah cukup baik dibuktikan dengan prestasi dan persentase tingkat kelulusan. Berbagai harapan dan usaha-usaha yang dilakukan dalam batas yang wajar demi meraih kelulusan para anak didik adalah harapan semua pihak. Sebaliknya apabila ada usaha-usaha tidak mendidik (curang) dalam pelaksanaan UN tentu sangat merugikan pendidikan dan generasi penerus. Kekhawatiran dalam pelaksanaan UN ini mengundang pihak-pihak independen untuk memantau pelaksananan UN dan situasi riil yang terjangkau di lapangan. Tanpa dikehendaki, UN yang diselenggarakan dengan niat baik beberapa kali menyemai kecurangan. Yang menyedihkan, kecurangan itu dilakukan melembaga, mengubah wajah kriminal biasa menjadi kerusakan budaya yang parah. Akibat parahnya kerusakan budaya di bidang pendidikan, peningkatan mutu pendidikan di Tanah Air kian jauh dari jangkauan. Ancaman terhadap mutu pendidikan di tanah air hanya dijawab dengan mengkriminalkan segelintir pelaku kecurangan. Itulah yang membuat para pecinta pendidikan merasa punya tanggung jawab moral terhadap kelangsungan pendidikan anak-anak bangsa seperti kehadiran tim independen pemantau UN di setiap sekolah/madrasah. Bila dikaji timbul kecurangan yang meluas itu adalah akibat dari nafsu para oknum tertentu agar dianggap berhasil memimpin dunia pendidikan, sehingga perlu meraih atau mempertahankan prestasi hasil UN, yang kamuplase itu kelihatan indah dengan topeng untuk mendapatkan/mempertahankan jabatan, prestasi, sedangakan yang sebenarnya tidak ada prestasi yang menonjol karena ada permainan oleh oknum yang nakal terhadap perkembangan dunia pendidikan-Meski untuk memulihkan rasa nyaman dapat menduduki jabatan lebih lama, hal itu bisa dilihat dari aksi yang dilakukan para oknum tertentu untuk menbocorkan jawaban dan sudah menjadi rahasia umum. Pencegahan pembocoran soal dapat diatasi dengan alternatif sebagai berikut; a) Setiap naskah soal mata pelajaran bisa diatasi apabila diantar langsung pada hari pelaksanaan ujian oleh tim idependen atau polisi (polsek) dan dikontrol yang ketat, b) Sirkulasi naskah soal sampai pemeriksaan hasil ujian, tidak dititipkan di kantor Diknas atau SMA/MA, kecuali pada hari pelaksanaan saja, c). Tim ini setiap tahun harus digulir kepada tim yang punya komitmen mampu memegang rahasia negara (tidak berkelanjutan stiap tahun pada tim yang sama). Sistem seperti ini sangat dibutuhkan keberanian para pengambil kebijakan merobahnya-Sulit memang menemukan hati nurani yang bisa dipertangungjawabkan, apalagi kalau berbicara standar iman pelaku kecurangan Tanpa pembasmian akar masalah, sistem pelaksanaan UN tidak akan pernah tercapai pendidikan sebagai investasi suber daya manusia yang handal masa mendatang, kecuali kita membekali mereka dengan kecurangan dalam UN agar masa mendatang mereka bisa melakukan korupsi di segala bidang. Tapi, apakah bentuk kecurangan dalam pelaksanaan UN ini dapat dibuktikan? Faktor yang menjadi penyebab para oknum melakukan kecurangan dalam pelaksanaan UN merupakan usahan mempertahankan "prestasi sekolah dan jabatan", saja di depan pengmat non pendidik sedangkan di depan pendidik adalah sebenarnya prestasi kosong. Persaoalan UN tidak sederhana. Susahnya lagi, faktor-faktor tersebut ternyata berpengaruh ke segala arah bagaikan mata rantai. Meski demikian, akar dari berbagai permasalahan itu harus dikoreksi sehingga faktor-faktor penyebab tersebut secara sistematis bisa diatasi. Dua dari sekian akar persoalan itu ialah pilihan kebijakan yang agaknya kurang tepat dan kurang tanggap pemerintah daerah Pilihan kebijakan berkaitan dengan UN, ada tiga standar yang diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, yaitu penilaian hasil belajar oleh (a) pendidik, (b) satuan pendidikan, dan (c) pemerintah. Apabila akan dilaksanakan oleh pemerintah pusat, arah pilihan sebenarnya sudah jelas, yaitu penilaian hasil belajar oleh pemerintah. Namun, pilihan caranya yang kurang tepat dalam menggunakan pendekatan yang mengaitkan hasil UN peserta didik dengan aneka indikator kualitas pembelajaran di sekolah asal peserta UN bersangkutan sehingga menghasilkan informasi yang dapat digunakan untuk mengoreksi kelemahan penyelenggaraan pembelajaran di tingkat satuan pendidikan yang dapat diagretasikan ke tingkat kecamatan, kabupaten, dan provinsi, pemerintah memilih untuk melaksanakan apa yang lebih tepat dinamakan UN. Berdasarkan hasil UN ini akan menjadi barometer dalam menentukan sistem evaluasi. Pelaksanan UN materi bertaraf nasional, dari segi sarana dan prasarana tindak sama secara nasional bagaimana tingkat ketepatan pelaksanaan UN? Agenda inilah belum menjadi pilihan para penentu kebijakan. Karena itu, pelaksanaan UN dari tahun ke tahun tidak menghasilkan informasi yang dapat digunakan untuk mencari kelemahan penycIenggaraan pembelajaran pendidikan di Tanah Air. Try out yang dilaksanakan menjelang UN hampir setiap daerah relatif masih murni tanpa curang sebenarnya menjadi barometer para pihak di atas. Sewajarnya prakarsa perbaikan berdasarkan hasil try out yang dikumpulkan setiap satuan pendidikan, pemerintah daerah (pemda) sudah menjadi standar pendidikan di daerahnya. Kurang Tanggap pemerintah Daerah Seiring dengan diterbitkannya PP Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Pendidikan Nasional Namun, perbaikan tampaknya sulit diharapkan karena kurang tanggap pemerintah daerah. Misalnya Implementasi Sertifikasi Guru, yang telah dinyatakan lulus oleh panitia pelaksanaan sertifikasi di setiap daerah, namun realisasi Sk kelulusan dari pusat untuk mendapatkan tambahan insentif guru masih semar-semar. Mengapa setiap propinsi tidak diberi wewenang untuk merealisasi SK tersebut kepada mereka yang dinyatakan lulus. Kibijakan ini kiranya akan menjadi agenda kerja instansi terkait (Diknas dan pemda). Kesan yang sudah basi adalah kalau siswa pandai bukan karena guru, namun kalau siswa bodoh adalah kesalahan guru. Disini peran tiga pusat pendidikan perlu dikaji ulang. Akhirnya kita pertanyakan wewenang dan peran pendidik, satuan pendidikan, dan pemerintah dalam menentukan ujian akhir nasional. Untuk apa UN dilaksanakan kalau bukan untuk menjadi barometer keberhasilan para siswanya dalam menempuh pendidikan selama tiga tahun pada suatu satuan pendidikan, dan apa maknanya diadakan evaluasi kalau pada akhirnya kita belum punya komitmenm terhadap sistem evaluasi pendidikan. Ataukah kita menginginkan UN sebagai simbolis saja, alias asal-asal? ____________________________________ * Sudah dimuat di Harian Rakyat Aceh, tgl 30 April 2008

0 Response to "UN Bukan Hanya Simbolis"