Blogroll

Tuntutan Penghapusan UN

Tuntutan penghapusan Ujian Nasional (UN) bulan lalu menggema datang dari berbagai kalangan, orangtua siswa, organisasi profesi, Mahkamah Agung (MA), dan anggota DPR, yang mempersoalkan bahwa UN tidak pantas dilaksanakan karena berbagai alasan, di antaranya adalah standarisasi sarana dan prasarana tiap satuan pendidikan belum sama setara nasional, di samping itu ada yang mempersoalkan UN hanya mengukur kognitif saja, tanpa unsur afektif dan psikomotor. Penolakan MA terhadap permohonan pemerintah terkait Ujian Nasional (UN) pada 14 September 2009 lalu. Namun putusan ini tidak melarang penyelenggaraan UN. Kepala Biro Hukum dan Humas MA, Nurhadi, menyatakan dalam putusan kasasi MA bernomor 2596/K.PDT/2008 ini, tidak menyebutkan larangan UN. (Media Indonesia, 1/12). Komitmen Mendinas tetap melaksanakannya, ini yang patut kita dukung dan mencari solusi alasan para pihak menghendaki penghapusan UN. Menurut Mendinas, Mohammad Nuh, keputusan MA menolak pelaksanaan UN merupakan peringatan dalam memajukan pendidikan, pemerintah akan memperbaiki kualitas ujian nasional setiap tahun dengan peningkatan kualitas guru dan prasarana pendidikan. Pemerintah juga memutuskan tetap menjalankan program itu daripada mendebatkan perlu atau tidak ujian nasional. "Kalaupun sudah maju, itu belum tentu selesai. Diperintahkan atau tidak diperintahkan pengadilan, itu memang dikerjakan," kata M Nuh seusai acara puncak peringatan Hari Internasional Penyandang Cacat di Kantor Wakil Presiden, (Media Indonesia, 3/12). Gerakan yang perlu kajian adalah kebijakan dan analisis ke depan dalam rangka pemberdayaan kualitas SDM dan tantangan yang akan dihadapi serta prioritas kebijakan pembangunan pendidikan secara nasional, seperti tersebut dalam UU No 2/1989 tentang sistem pendidikan nasional. Langkah percepatan perkembangan global merambah ke segala sektor menuntut kualitas sumber daya manusia (SDM) yang profesional, produktif, efektif dan efisien memiliki keahlian tertentu mampu berproduktivitas. Pendidikan merupakan akar dari berbagai perubahan, secara teknis tuntutan, kemampuan, keahlian, keterampilan, serta nilai-nilai modern, moral yang diperlukan menjadi prasyarat untuk mencapai keunggulan bangsa di era persaingan global. Tuntutan masyarakat mengharap akan ada perubahan kebijakan pemerintah terhadap distribusi kebijakan tentang pendidikan nasional masa depan, bukan hanya kurikulum, tapi setiap instrumen syarat kelengkapan proses belajar mengajar dan penilaian seimbang—kecerdasan, aklakul karimah, dan nilai-nilai kemasyarakatan—perlu mendapat perhatian dalam rangka menyiapkan SDM yang berkualitas mampu berkompetensi dengan negara berkembang lainnya. Tujuan utama pelaksanaan UN adalah untuk mengukur kemampuan para siswa menguasai pengetahuan (kognitif) selama tiga tahun pada SMP/MTs, SMA/MA, dan SMK dan selama enam tahun di SD/MI yang dilaksanakan oleh pemerintah. Sedangkan peran sekolah yang meliputi ranah afektif dan psikomotor terabaikan dari standarisasi kelulusan, sehingga para pihak menolak UN. Sesuai keputusan UU No 20/2003 dan UU No 14/2005 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) pasal 58 ayat (1) yang menyebutkan bahwa evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik. Satuan pendidikan dan pemerintah. Pelaksanaan UN 2009-2010 dimajukan pada bulan Maret, tahun sebelumnya April. Hal ini memberi indikasi kepada para siswa kalau tidak lulus pada bulan Maret punya kesempatan UN Remedial bulan lain (Mei). Sistem UN dua kali dalam setahun merupakan kebijakan rancu dari Mendinas, perlu kajian ulang dari berbagai kalangan tentang sistem evaluasi kita, jangan terkesan sistem evaluasi kita tidak berkualitas, efektif dan efisien. Keputusan ini merupakan sikap keraguan dan negosiasi politik saja. Seharusnya, yang diberi kesempatan ulangan susulan adalah kepada siapa saja yang mengalami musibah—karena sakit, kemalangan karena faktor alam atau peristiwa lain—yang menyebabkan dia tidak dapat mengikuti UN pada waktu yang telah ditetapkan. Bukan memberikan kesempatan pada orang yang sama. Imbas dari kebijakan bahwa UN sebagai syarat kelulusan bagi para siswa semester akhir pada satuan pendidikan tanpa kriteria lainnya, maka hampir setiap daerah tidak siap menerima sistem seperti itu, mulai dinas TK I sampai tingkat kabupaten/ kota mencari berbagai solusi agar bisa lulus semuanya tanpa memperdulikan profesionalisme dan kualitas kinerjanya, yang penting standar skors lulusan minimum dapat tercapai. Realita setiap pelaksanaan UN telah bocor sebelum waktunya, tanpa ada yang bertanggung jawab terhadap dokumen negara. Saya berpikir UN bukan hanya simbolis (Harian Rakyar Aceh, 28 Maret 2008) sehingga disarankan dalam pelaksanaan UN agar naskah ujian agar dapat ditempatkan di kantor polisi (Polsek) terdekat dan sirkulasi tiap mata pelajaran diambil pada hari “H’ saja, dan dipantau oleh tim independen. Kinerja seperti ini sudah dilaksanakan seperti pada UN 2008-2009, namun kebali oknum joker bermain memperjualkan naskah soal dan jawaban via SMS kepada pihak tertentu, para siswa dan oknum yang terkoordinir karena takut tidak lulus. Mengantisipasi ketakutan dan penolakan UN perlu ada solusi, mengajak para pihak dapat menerima (fair), pelaksanaan UN yaitu, pertama; UN bukan keputusan akhir ketentuan lulusan yang hanya mengukur kognitif saja yaitu melupakan unsur afektif dan kognitif—bila tidak bagaimana kita sepakat bahwa pendidikan dapat menghantarkan anak didik menjadi cerdas, terampil dan bermoral—kemudian hasil tersebut dikembalikan kepada satuan pendidikan masing-masing untuk menentukan lulusan. Kedua; perhatikan sarana dan prasarana, apakah sudah memiliki standar sama setiap masing-masing satuan pendidikan. Kalau standar ini sudah sama maka para pihak tak dapat menolak UN. Ketiga; alternatif lain bahwa Depdiknas dapat mengambil sampel satuan pendidikan setiap daerah (propinsi, kab/kota) yang telah memiliki standar setara nasional dari berbagai instrumen kemudian melaksanakan UN dan selanjutnya kepada satuan pendidikan yang tidak lengkap sarana agar disesuaikan UN-nya. (Lihat, “UN bukan ditakuti”, serambi, 28 Mei 2009). Berbagai tuntutan yang menolak UN para pihak tersebut sebagai kritik konstruktif menjadi pekerjaan rumah (PR) Mendinas sebagaimana diakuinya keputusan MA merupakan tantangan dalam menentukan kebijakan dan program kerja masa mendatang. Saya kira UN tetap dilanjutkan pada tahun-tahun mendatang dan keputusan lulusan dikembalikan kepada satuan pendidikan, maka skors UN dan skors nilai lainnya menjadi standar kualitas SDM yang dihasilkan pada satuan pendidikan tertentu. Mudah-mudahan UN tahun ini dapat dijadikan sebagai sebuah proses ishlah (kebijakan nasional). Semoga. ______________ * Penulis adalah pengurus Koalisi Barisan Guru Bersatu (Kobar-Gb) Kota Lhokseuamwe- Aceh.

0 Response to "Tuntutan Penghapusan UN"