Blogroll

Melaksanakan Ritual Ke-Islaman Menurut Ajaran Rasul

Melaksanakan ajaran Islam secara benar, konsisten mengikuti al-quran dan sunnah Rasul merupakan kewajiban pemeluknya. Kondisi umat Islam di Indonesia bahwa sebelum Islam masuk ke bumi nusantara ini terlebih dahulu telah masuk agama lain, sehingga dalam aktivitas ritual umat Islam bercampur dengan pola ibadah agama lain. Sehingga, perlu diperhatikan aktivitas ritual di masyarakat yang tidak ada menurut ajaran rasul. Bahwa Islam yang berkembang sekarang diajarkan di pesantren-pesantren salafiah yang bergumul dengan kitab-kitab kuning (arab jawo) atau versi yang dipelajari di sekolah modern/ perguruan Islam yang memiliki referensi tulisan latin sudah mengikuti aturan menurut al-quran dan Rasul. Sehingga, segala aktivitas yang tidak berdasarkan dari ajaran tersebut dianggap bid’ah (berlebihan). Para pendakwak Islam ketika mengawali ceramahnya seringkali kita mendenganr bahwa dalam menegakkan Islam kita harus memegang teguh ajaran yang bersumber dari al-qur’an dan sunnah rasul dan mendengarkan para ulama sebagai pewaris Nabi. Persoalan sekarang, para ulama berada di berbagai organisasi kemasyarakatan yang mengambil keputusan sendiri-sendiri. Misalnya ketika mengharamkan rokok, bunga bank dan lain-lain. Sedangkan ulama dari organisasi lainnya tidak ada respon secara bersama-sama meletakkan fatwa hal yang sama. Sehingga, ada kolompok lain menganggap fatwa tersebut lemah—masih mengandung khilafiah—Jadi, bagaimana menyatukan fatwa bila dikalangan ulama saja berbeda, hal ini dapat berakibat terbelah pada pemeluk Islam itu sendiri. Usulan penerapan syariat sesuai al-qur’an dan sunnah Rasul memang tidak ada yang membantah di kalangan umat Islam. Namun, bagaimana pemahaman syariat memenuhi uswah Rasul tersebut, ternyata melahirkan dua pandangan dasar berbeda di kalangan u.mat. Sebagian memandang Islam sesuai uswah Rasul harus diterapkan sesuai apa yang dilakukan Rasul secara harfiah. Sementara yang lain menempatkan uswah Rasul itu secara maknawi, dinamis dan etis. Timbul usulan bagaimana menjaga istiqamah tapi tetap dinamis dan kreatif, maka muncul kompromi dengan menetapkan apa yang secara hakikiah bersifat baku (secara nilai) dan apa yang bisa berubah bentuk berupaya menemukan alternatif pemecahan masalah. Menurut Abdul Munir Mulkhan, Perbedaan persepsi pelaksanaan syariat merupakan perdebatan antara dua model pola kehidupan pemeluk Islam yang merupakan konsekuensi wahyu ketika bersentuhan dengan manusia yang terus bergerak dinamis. Jadi, persoalan berikut adalah, Islam bagaimana yang benar dalam mengamalkan syariat yang menjadi ikutan umat, kembali kepada Alquran dan Sunnah itu pada periode mana, pada masa Rasul hidup atau pada masa fukaha dan mutakallimin? (Suara Muhammadiyah, 6 Muharram 1429 H). Jika kita mengamalkan Islam secara konsisten mestinya berkaitan dengan periode kenabian tanpa intervensi fuqaha dan mutakallim yang berani sesudah abad ke-1pasca wafat nabi. Islam pada periode kenabian inilah yang harus bisa kita baca secara jernih dengan “membuang lebih dahulu segala informasi yang selama ini kita peroleh dari buku-buku kalam dan fikih atau aqidah" agar kita bisa membaca Islam yang dipraktekkan nabi itu tanpa beban. Sekurangnya ketika kita membaca paparan fuqaha atau mutakalimi, hendaknya diletakkan dalam perspektif masa kenabian sebelum fuqaha dan mutakallim itu muncul. Dalam peradaban bermasyarakat dan bernegara ada para ulama dan fukaha mencoba menerjemahkan"...waltakum minkum ummatun...”menjadi referensi pembentukan organisasi yang berujung kepada pembangunan fisik dan mental yang menjadi tempat syiar seperti pesantren dan sekolah-sekolah, seperti yang dilakukan oleh organisasi Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama (NU) menjadi pola rekrutmen umat. Perbedaan yang signifikan di kalangan masyarakat bahwa selepas melaksanakan salat lima waktu. Seperti, mengusap muka, berdoa secara bersama-sama dipinpin oleh imam, salam-salaman—merupakan bid’ah, tak ada sumber dari Rasul—Sementara di kalangan Muhammadiyah memimpin doa tidak dianjurkan, kecuali itu mereka menganjurkan berdoa menurut keperluan masing-masing jamaah, tidak ada qunut pada setiap salat subuh, teraweh 8 rakaat, tidak ada seunujoh (kenduri pada hari ke 7 setelah kematian), tidak ada peusijuk (tepung tawar) yang memakai daun-daunan pada acara seremoial, karena hal tersebut dianggap tidak ada sumber dalam ajaran Islam, kecuali pengaruh peninggalan budaya non Islam. Kondisi di masyarakat yang memerlukan perhatian semua pihak bahwa ada adat yang sangat kontras kondisi di masyarakat bahwa pada kampung tertentu salat jenazah diupah kepada kelompok orang tertentu, setelah salat mereka diberikan amplop—apakah ini dapat disebut sedekah—Sayangnya bagaimana dengan orang fakir, miskin yang tidak mampu mengupah, maka bagaimana peran orang kampung setempat tidak sah salatnya? Kondisi ini perlu peran majelis permusyawaratan ulama (MPU), Majelis Adat Aceh (MAA), dan dinas syariat. Adat ini disinyalir terdapat di sebagian kabupaten Bireun, Aceh utara, Aceh Timur dan kota Langsa. Apakah kabupaten lain juga ada? MPU, MAA dan dinas syariat perlu kompromisasi mensosialisasi bahwa adat harus mengedepankan ushah Rasul. Jangan ada kontroversi dalam beribadah dan ritual ke-islaman agar tidak terbelah sikap peribadatan sebagian ummat level menengah ke bawah. Dalam kondisi seperti ini semua perbedaan tersebut dapat disatukan sikap kalau para dai (ulama) mendakwahkan pengamalan syariat secara konsisten berpegang teguh pada uswah Rasul, bukan atas persepsi restu organisasi tetentu menjalankan syiar. Pengamalan Islam secara konsisten memungkinkan dinamitas kreatif menemukan kembali fungsi dan peran Islam dalam persoalan umat. Bila kondisi ini tidak dibina akan melahirkan kebekuan yang mendorong penyimpangan berbagai bentuk kurafat dan bid’ah di kalangan umat. Penjernihan perlu dikaji ulang, apakah mengaji dari kitab-kitab yang selama ini kita jadikan referensi atau mengedepankan adat. Hendaknya kondisi sosial kemasyarakat dan cara beribadah umat Islam selalu diawasi—kita tidak mau melahirkan penambahan ajaran sesat—dan dibimbibing melalui pemuka agama di setiap kabupaten/kota sampai ke kampung-kampung. Melalui tulisan singkat ini kiranya menjadi masukan semua pihak, mengkaji ulang untuk bermusyawarah menentukan fatwa dari berbagai bentuk ritual ke-agamaan tidak menyalahi sendi-sendi ajaran Islam sesuai dengan al-quran dan uswatun Rasul. Semoga!

0 Response to "Melaksanakan Ritual Ke-Islaman Menurut Ajaran Rasul"